Rabu, 28 Desember 2011

Matinya Narasi

Acep Iwan Saidi

Akhir tahun adalah sebuah �jeda�, titik penghubung ke awal dalam suatu siklus. Di dalam siklus, titik pertemuan dari akhir ke awal sebenarnya berada di lapis luar, sesuatu yang dirumuskan manusia berdasarkan fenomena yang terjangkau nalar: bahwa ada 12 bulan dalam setahun, 7 hari dalam seminggu, 24 jam dalam sehari, dan seterusnya.

Siklus ini menyebabkan kita, pada pergantiannya, seolah menghadapi yang baru sehingga galib menyebut 1 Januari tahun baru. Padahal, pada titik substansi (lapis dalam), kehidupan sebenarnya bergerak terus ke arah yang mungkin tak bisa disikluskan, tidak juga dapat dikatakan linear. Ke manakah kehidupan bergerak, ke depan atau justru ke belakang?

Nalar manusia cenderung menangkap bahwa kita sedang bergerak ke depan. Kecenderungan pemahaman ini juga sering disertai keyakinan �mistis�: bergerak ke depan identik menyongsong kemajuan (ke depan kita maju, ke belakang kita mundur).

Faktanya kita melihat kian hari peradaban manusia tak membaik. Berbagai penemuan bidang sains dan teknologi yang lahir dari kecanggihan berpikir manusia ternyata tak serta-merta membuat kehidupan lebih tenteram. Alih-alih kian damai, penemuan itu justru membuat manusia merasa terancam, panik, skizoprenik, dan irasional.

Dalam konteks lain yang lebih aktual, kita bisa mengambil proposisi ekstrem: jika kian hari manusia kian berpikir canggih, kota metropolitan macam Jakarta mestinya kian jadi kota yang tertata baik. Pun demikian kasus pengelolaan negara: pemerintahan SBY seharusnya lebih bagus dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Namun, bukankah kenyataannya tak begitu. Jakarta justru bergerak ke arah nekropolis (kota kehancuran). Kebobrokan moral pada tubuh pemerintahan sama parahnya dengan masa lalu.

Itu berarti kita sebenarnya tak bergerak ke depan dalam arti ke arah lebih maju. Kiranya juga tak melangkah ke belakang sebab kebaikan dan prestasi di belakang tak terlampaui; keburukannya tak bisa diperbaiki. Kita, hemat saya, jadi patahan-patahan mengambang. Kita ahistoris, tapi juga tak progresif. Tak mengenal masa lalu sekaligus buta terhadap masa depan. Inilah yang saya sebut matinya narasi.

Tragedi Kebudayaan

Narasi, dalam arti sempit, adalah rangkaian peristiwa (Gennete, 1980). Rangkaian peristiwa meniscayakan unsur pelaku, waktu, ruang, dan realitas peristiwa. Relasi semua unsur itu membentuk durasi, yakni gerak maju masa lalu ke masa kini, dan lantas �memersepsi� masa depan. Sebuah gerak maju adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi (dure) dari masa lalu sehingga dengan begitu ia mengandaikan masa depan (Bergson, 2002). Dengan inilah, dalam arti luas, narasi membentuk pengetahuan (Lyotard, 1989). Kebudayaan atau lebih luas peradaban terbentuk dari �praktik narasi� ini.

Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam kehidupan kebudayaan kita, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Demokrasi yang telah direbut dengan gemilang oleh gerakan reformasi ternyata tidak dimaknai dan dimanfaatkan dengan baik. Alih-alih memanfaatkan kebebasan berbicara untuk mengonstruksi pengetahuan naratif, kita justru mengambil demokrasi untuk menghancurkan pengetahuan.

Elemen-elemen narasi terlempar ke berbagai arah, tak ada relasi, apalagi kesatuan yang utuh. Kita mengambil ruang dan waktu penceritaan, tetapi tidak memiliki waktu dan ruang cerita. Artinya, kita hanya bercerita, tetapi penceritaannya tak menapak pada ruang dan waktu di mana di dalamnya kita terlibat secara nyata. Dalam perspektif semiotika, kita hanya bermain-main dengan tanda, tetapi tanda tersebut tidak mengakar pada realitas. Ia terbelokkan dan hanya berputar-putar di dunia tanda itu sendiri. Segalanya adalah tanda, adalah image.

Image adalah sebuah �realitas metaforik�, yakni realitas baru yang diciptakan (bukan realitas sebenarnya). Untuk menciptakan realitas ini, sejarah harus diputus dan masa depan tak boleh ditetapkan. Dengan kata lain, narasi mesti dibunuh sehingga tak ada lagi pengetahuan, tak ada lagi esensi. Dalam kondisi demikian, kita dipaksa melihat dan memaknai hari ini untuk hari ini saja.

Kita dipaksa untuk selalu lupa. Tiba-tiba, misalnya, kita mendapatkan seseorang menjadi pejabat publik, anggota DPR, atau bahkan penegak hukum. Padahal, beberapa saat sebelumnya, kita menemukan orang tersebut adalah koruptor, pelaku kriminal, atau penjahat lain. Kita tidak boleh mengingat masa lalu, sekaligus tak harus peduli pada masa depan. Dalam image, dalam kematian narasi, kita dipaksa untuk terus-menerus mengelabui realitas. Itulah mengapa Umberto Eco (1979) menyebut tanda sebagai dusta, ilmu tanda (semiotika) adalah ilmu tentang dusta.

Hasil Konspirasi

Realitas metaforik sedemikian tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Ia adalah konstruksi dari konspirasi berbagai pihak: penguasa, pengusaha, politisi, media (terutama televisi), praktisi bidang tertentu seperti desainer, sampai akademisi. Semua bersama-sama (seperti jargon pemerintahan SBY) mengoyak-ngoyak narasi, menghancurkan pengetahuan. Bagi saya, matinya narasi sedemikian adalah tragedi kebudayaan, bahkan malapetaka peradaban yang mengerikan. Matinya narasi membuat kita dalam jagat dusta.

Apakah dengan begitu kita sedang bergerak ke ruang dan waktu masa lalu peradaban, yakni zaman kegelapan? Dalam bahasa, kiranya terasa hiperbolis jika kita menjawab pertanyaan itu dengan �ya�. Namun, secara faktual kita menemukan kenyataan tak terelakkan: matinya narasi menyebabkan irasionalitas nyaris di seluruh kehidupan.

Beranalogi pada Schroeder dalam Visual Consumption (2002), belanja dan konsumsi sehari-hari kita adalah image, adalah dusta. Akan tetapi, di bawah tenung televisi, kita terlena. Bukankah dengan begitu sesungguhnya kita tengah berada dalam gelap? Semoga kita bisa menutup tahun ini dengan mata terbuka agar tahun berikutnya menjadi harapan. Selamat berakhir tahun!

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Minggu, 25 Desember 2011

Menemukan Adab Indonesia

Radhar Panca Dahana

Soal perilaku manusia Indonesia belakangan ini, yang negatif, destruktif, kriminal, penuh nafsu, bahkan telengas, sudah cukup banyak di analisis. Pada umumnya mereka melihat hal itu antara lain akibat naluri dasar manusia (bangsa) Indonesia yang�ternyata�mengandung semua hal negatif di atas. Benarkah demikian?

Sebagian dari amatan itu juga mencoba melihat, mempelajari, atau bahkan meneladani bagaimana bangsa-bangsa lain memperadabkan dirinya. Beberapa bangsa/negara, yang sebelumnya justru belajar dari kita, dijadikan acuan.

Dalam pergaulan internasional, semangat koreksi diri adalah hal yang wajar. Namun, apa pun hasil amatan dan analisis itu tetap meninggalkan pertanyaan dasar yang�pada akhirnya�menentukan pertanyaan dan jawaban berikutnya: apa dan bagaimana kita melihat diri sendiri, dan akhirnya juga melihat orang lain?

Semua kecenderungan mental dan perilaku manusia yang destruktif dan instingtif primitif sesungguhnya bukan milik spesifik bangsa kita. Logika psikososial dan psikokultural semacam ini sebenarnya sudah umum dipahami. Setiap bangsa punya riwayat kekerasan manusia, perilaku negatif yang bahkan kadang begitu mengerikan. Adab keras dan negatif adalah sisi lain dari mata uang kebudayaan: di mana pun dan kapan pun.

Persoalannya tinggal bagaimana (produk) kebudayaan positif dapat jadi penyeimbang atau alat/mekanisme untuk mencegah, menanggulangi, atau memberi sanksi bagi negativitas destruktif di atas. Tak bisa dielak, bangsa Indonesia juga memiliki warisan kekerasan yang merusak. Namun, harus diakui juga, bahkan di tingkat kekerabatan (komunitas) terkecil, sebenarnya bagian-bagian dari bangsa ini memiliki alat dan mekanismenya masing-masing menghadapi kecenderungan negatif dan destruktif tersebut.

Tuntutan Material dan Lupa Diri

Karena itu, taklah elok jika kita melihat kedegilan manusia Indonesia sekarang dari faktor intrinsik alamiahnya saja. Jika dengan jernih dan jujur kita identifikasi, di tingkat pertama penyebab dari semua kekerasan, tindak negatif dan destruktif sebagian dari saudara-saudara kita itu sebenarnya ada pada tuntutan (kebutuhan) material yang kian besar dan menekan. Situasi psikologis dari adab modern inilah yang ada di balik korupsi, manipulasi, kolusi, perampokan, pembunuhan, penjarahan, hingga kekerasan institusional (baik negara maupun non-negara). Bahkan pada beberapa tindakan super-ekstrem seperti separatisme atau terorisme.

Tentu ini bukan simplifikasi yang meniadakan beberapa faktor non-material, seperti ideologi, agama, dan adat-tradisi. Namun, tanpa kelindan faktor material di atas, kondisinya tak akan mencapai tingkat kerumitan dan kesulitan setinggi apa yang terjadi saat ini. Faktor atau tuntutan material di sini dapat ditegaskan bermuara pada persoalan finansial, dasar ekonomi dari mulai tingkat personal hingga komunal atau institusional.

Setiap orang di negeri ini, terutama di daerah urban, sub-urban dan sekitarnya, setiap hari disodori tawaran-tawaran mencengangkan dari gaya hidup yang berkembang saat ini. Dengan semua tawaran yang tak terbendung oleh tanggul moral (agama, adat, hukum, dan lain-lain) itu sesungguhnya telah menguras lebih separuh dari penghasilan rutin kita.

Katakanlah dari penggunaan telepon. Jika dahulu cukup hanya satu telepon dari Telkom, kini satu keluarga bisa memiliki 10, yang semua dibayar oleh orangtua penghasil uangnya. Dengan angka ajaib 175 juta pelanggan seluler, puluhan triliun kita habiskan setiap tahunnya hanya untuk pulsa dari miliaran SMS, yang sebagian besar tidak produktif.

Mereka yang kaya raya mengganti mobilnya setiap tahun (bisa beberapa kali), yang menengah mengganti televisi atau stereonya, yang lebih bawah mengganti telepon seluler, busana, atau sandalnya beberapa kali dalam setahun. Bayangkan juga konsumsi produk-produk impor, barang dan jasa yang harganya berlipat-lipat dari nilai produksinya.

Tidak mengherankan jika kita sampai kehilangan peluang Rp 26,42 triliun lebih dari bisnis buah, atau hilang 2,34 juta lapangan kerja karena kegilaan kelas menengah-atas pada buah dan sayuran impor. Tak mengherankan pula jika kita adalah negara unggul dalam akses pelbagai media sosial global. Juga tak mengherankan lebih banyak turis kita pergi ke satu negara ketimbang sebaliknya.

Mengapa kita begitu lupa diri? Tampaknya semua itu bukti kegagalan kita, sebagai bangsa dan negara, menyiapkan modal mental dan kultural yang tangguh untuk menghadapi kekuatan yang mengglobal itu. Harus diakui, ini bukan kegagalan di tingkat sub-sistem atau etnik, tapi kegagalan di tingkat nasional, sebagai universe dari lokal-lokal yang ada.

Sebagai bangsa, juga negara sebagai obligor utama, kita belum berhasil membangun dasar-dasar moral, nilai, dan peradatan�juga peradaban�yang membuat tiap warga negara tahu bagaimana merespons semua infiltrasi dan intervensi kultural di atas. Bahkan untuk soal sepenting ini kita serahkan kepada pasar.

Adab Indonesia

Untuk mengatasinya, negara melalui pemerintah patut menjadi inisiator utama dan pertama. Kementerian Informasi, bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan, misalnya, dapat menyebarluaskan tentang nilai-nilai utama hingga praksisnya dari budaya hidup di alam posmodern ini. Dari melihat nilai guna sebuah barang dan jasa, cara dan pola konsumsi, keuntungan dan kerugiannya, cara berkonflik, kesantunan dalam bersosialisasi, hingga berlalu lintas.

Ini beban kerja lintas sektoral/kementerian. Setiap kementerian mengeluarkan semacam kode etik yang bisa berlaku umum. Persoalan ini harus diatasi dan diselenggarakan secara komprehensif di mana semua instansi terlibat.

Di bagian utama, kebudayaan, kementerian yang membawahinya mesti segera menemukan atau mengidentifikasi nilai-nilai utama dari adat dan istiadat lokal kita yang dapat dipekerjakan secara nasional/universal. Lalu, biarkan publik memprosesnya secara alamiah melalui proses akulturasi yang sudah mereka kukuhi sejak lama, untuk menjadikan semua itu sebuah kultur dan adab baru: kultur dan adab Indonesia, yang (maaf!) memang belum kita miliki.

Sabtu, 10 Desember 2011

Sondang Hutagalung

Budiarto Shambazy

Mohamed Bouazizi drop out dari SMP karena orangtuanya tak mampu bayar uang sekolah. Untuk memperbaiki nasib, mereka pindah ke kota lebih kecil, R�gueb, dan bekerja di peternakan saudara.

Namun, peternakan bangkrut karena jadi korban pemerasan aparat. Merasa sia-sia, Bouazizi dan keluarga balik lagi ke Sidi Bouzid, Tunisia tengah.

Ia memutuskan mencoba peruntungan sebagai penjual buah dan sayur dengan modal gerobak serta utang kanan-kiri untuk membeli dagangan. Sayang, usaha kaki lima dilarang, gerobaknya jadi langganan disita polisi.

Jumat, 17 Desember 2010, pagi, ia tak tahan karena frustrasinya memuncak. Utangnya sekitar Rp 1,7 juta. Ia pergi mengadu ke gubernur mengapa polisi belum mengembalikan gerobaknya.

Namun, ia diusir polisi. Tak ada jalan keluar lagi, Bouazizi mengambil jalan pintas. Ia lalu membakar diri di depan kantor gubernur.

Aksi konyol itu membuat Bouazizi menderita luka bakar parah. Rakyat marah. Sepanjang akhir pekan setelahnya, massa melakukan demonstrasi dan menjarah.

Pembakaran dan penjarahan segera menyebar ke seluruh negeri. Perlahan tetapi pasti, rakyat tergerak mempersoalkan tingkat pengangguran yang tinggi dan korupsi para pejabat.

Rezim Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali berupaya bertahan. Namun, percuma karena ihwal pembakaran dan penjarahan ditiru di mana-mana karena menyebar melalui media sosial.

Aksi Bouazizi ditiru beberapa demonstran di Mesir dan Aljazair karena efektif memicu revolusi. Kurang dari dua bulan, �Revolusi Melati� di Tunisia merembet ke sejumlah negara Timur Tengah.

Padahal, kultur membakar diri akibat frustrasi sosial tidaklah dikenal di kedua kawasan itu. Aksi itu lebih sering terjadi di Asia, terutama di kawasan Asia Timur dan Asia Selatan.

Kita jelas tak mengenal kultur bakar diri, makanya tercengang menyaksikan aksi itu dilakukan Sondang Hutagalung. Tak pernah ada yang bakar diri di depan istana sejak 1945.

Sudah beberapa kali terjadi belakangan ini orang loncat dari gedung, menjatuhkan diri dari jembatan penyeberangan, atau membakar diri sekeluarga.

Padahal, budaya protes kita terhadap keadaan yang sumuk tidak begitu. Protes kita masih berwatak jinak, misalnya demonstrasi ke istana yang merupakan bentuk modern dari m�p� (berjemur diri di alun-alun).

Kita lebih kenal amarah politik yang diwarisi budaya Melayu yang lebih mengerikan, yakni amuk (to run amok). Itulah yang terjadi, misalnya, pada 1965-1966 dan 1998.

Apa yang dilakukan pembakar diri adalah perbuatan kurang waras dan bertentangan dengan agama walau Bouazizi terbukti periang dan religius. Satu-satunya motivasi mereka nekat karena putus asa akibat kondisi sosial dan ekonomi terpuruk.

Pembakar diri memprotes rasa ketidakadilan. Dan, yang perlu digarisbawahi, para pemimpinlah yang bertanggung jawab atas terciptanya ketidakadilan tersebut.

Kalau bukan para pemimpin, lalu siapa? Pasalnya, hanya jajaran pemimpin negara�pemerintah dan parlemen yang mengawasi pemerintah serta yudikatif yang mengemban keadilan�yang wajib mengurus rakyat.

Lihat ketiga cabang kekuasaan kita yang sering diguyoni dengan �Trias Poli-thieves�. Ketiga cabang kekuasaan terdiri atas �execu-thieves�, �legisla-thieves�, dan �judica-thieves�.

Tikus-tikus koruptor menguasai ketiga cabang kekuasaan. Korupsi tak lagi sekadar mengentit alias mengais-ngais dari anggaran belanja, tetapi juga menjarah anggaran untuk dibagi-bagikan sejak ia ditetapkan oleh eksekutif dan yudikatif.

Korupsi mudah ketahuan dan segera diperiksa KPK, Kepolisian, ataupun Kejaksaan. Namun, mereka ternyata bukan sapu-sapu yang bersih sehingga sukar diharapkan menyapu kotoran.
�Judica-thieves�? Lihat saja sebagian keputusan Pemilu-Pilpres 2009 dan pilkada yang ternyata diperdagangkan oleh Mahkamah Konstitusi yang kini disidik Panitia Kerja Mafia Kursi DPR.

Betul kata judul buku politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi. Pembasmian korupsi ibarat anak-anak yang bermain perang-perangan semata.

Kepolisian dan Kejaksaan menjalankan peran memainkan �penyidik-penyidikan� sekaligus �penyelidik-penyelidikan� skandal-skandal korupsi. KPK bertindak sebagai aktor yang bermain �periksa-periksaan� koruptor. Lalu Pengadilan Tipikor memainkan peran menjalankan �sidang-sidangan� seperti yang dilakukan terhadap M Nazaruddin.

Korupsi makin hari makin absurd. Permainan perangan-perangan melawan korupsi sudah berlangsung sekitar dua tahun. Sondang menjadi peringatan bagi kita bahwa korupsi di republik ini sudah mencapai kondisi luar biasa.

Selain membakar diri, muncul fenomena baru: dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Internasional, mahasiswa dan aktivis pendemo menyatroni rumah Ketua Umum Partai Demokrat.

Pembakar diri seperti Bouazizi atau Sondang bukan pencari sensasi yang haus perhatian dan ingin dikenang sebagai �pahlawan�. Mereka disebut sebagai �korban� yang ingin agar rakyat �bangkit�.

Makna dua kata, korban dan bangkit, itulah yang menjadi esensial. Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dahulu demi membangkitkan harapan rakyat agar nasib bangsa jadi lebih baik lagi.

Kita wajib periksa diri: walau sistem demokratis, apakah the ruling elite yang berkuasa masih belum kapok korupsi? Percuma membanggakan demokrasi jika tujuannya tidak lebih dari sekadar memperkaya diri.

Selasa, 06 Desember 2011

Manusia Indonesia Maritim

Radhar Panca Dahana

Dalam acara bincang-bincang di stasiun televisi beberapa tahun lalu, saya bertanya kepada beberapa mahasiswa unggulan dari akademi pelayaran di Jakarta Utara. �Apa yang dimaksud dengan budaya kelautan atau maritim?�

Tiga mahasiswa yang gagah ternyata hanya menggeleng. Kepala sekolah yang juga datang sebagai narasumber kemudian menjelaskan, budaya kelautan adalah semacam cara hidup para pelaut yang terpaksa tinggal berhari-hari atau berbulan-bulan di atas kapal yang berlayar.

Saya tercenung. Saya mencoba mengenang ide dan visi presiden pertama kita, Ir Soekarno, saat ia menggagas sekolah para calon pelaut Indonesia itu. Tentu saja, jawaban kepala sekolah di atas tidak termasuk di dalamnya.

Visi awal sekolah itu jauh lebih lapang dalam ruang dan waktu. Seorang pelaut semestinya memiliki kepekaan dan pemahaman ruang yang lebih kuat dan luas ketimbang mereka yang hidup sebagai �manusia daratan�.

Visi dan kepekaan semacam ini sangatlah penting untuk kita, manusia Indonesia, terutama untuk memahami kenyataan kita sebagai insan, kelompok, masyarakat, bahkan juga bangsa.
Indonesia adalah miniatur terbaik bagi kodrat Bumi karena keduanya memiliki wilayah sama, yaitu dua pertiga diisi air. Maka, secara natural, sesungguhnya manusia Bumi (juga Indonesia) memiliki kodrat sebagai manusia maritim: manusia yang mengacu keberadaan dirinya secara eksistensial, memahami dasar-dasar ontologis hingga kosmologis, pada tata cara hidup dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir.

Manusia yang dibentuk oleh kultur laut dan pesisir adalah manusia yang membangun permukiman, sosial, ekonomi, dan politiknya dalam sebuah kota pantai atau bandar. Di kota-kota bandar ini, manusia maritim Indonesia berkembang sesuai kondisi alamiah dan pengasuhan bandar: menjadi masyarakat hibrid (melting pot society) yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif.

Semua itu�sebagai hasil pembudayaan dan pemberadaban�berlangsung sangat lama karena ditransmisikan lewat cara-cara yang juga alamiah, antara lain tuturan (seni/sastra lisan), praktik, dan teladan.

Adab Daratan

Paparan di atas adalah untuk menegaskan kembali bahwa cara berpikir, pendekatan, hingga pola hidup kita yang keliru sebagai manusia, kelompok, atau bangsa selama ini, yakni pola hidup yang memaksakan satu pendekatan yang berpotensi konflik. Mengapa?

Pola hidup di atas selain mengingkari kodrat maritim juga menggunakan warisan adab dan budaya daratan. Sebagai adab, budaya daratan juga dipengaruhi kondisi geografis dan geologis di mana manusia harus ada karena perlawanan dan penguasaan terhadap sekitar (manusia, binatang, dan lingkungan). Tidaklah mengherankan jika adab daratan sejak awal Masehi dipenuhi konflik, bahkan perang yang sangat kejam.

Dalam peradaban besar yang tersusun selama 1,5 milenium dan terutama 2,5 abad terakhir inilah kita menyaksikan bagaimana dunia: manusia dan kebudayaannya, tercabik-cabik oleh perilaku yang menghamba pada kekuasaan. Sejarah di Jazirah Arab, misalnya, selalu penuh dengan perang dan darah. Konflik dan kekerasan memang menjadi ruh pembentukan bangsa dan negara di wilayah itu.

Sejarah tentu saja bukan hanya milik bangsa Arab. Sejumlah bangsa dan peradaban daratan lainnya: Mesir, India, China, Persia, hingga Eropa, juga memiliki cerita yang hampir sama hingga hari ini.

Maka sesungguhnya beruntunglah kita, manusia dan bangsa Indonesia, yang memiliki adab dan budaya maritim. Ia memiliki pendekatan dan cara hidup yang berbeda dalam mengelola diri sendiri, bersosialisasi, berpolitik, bernegara, dan berdiplomasi internal maupun eksternal.

Begitu pula seharusnya cara kita menghadapi berbagai persoalan di dalam negeri, khususnya pada beberapa isu kritis belakangan ini seperti korupsi, konflik lokal, otonomi daerah, hingga penyelenggaraan demokrasi. Harus diakui saat ini kita lebih menggunakan pendekatan yang lebih dipengaruhi adab daratan: konfliktif, dominatif, dan materialistik. Negara selalu berposisi sebagai pemerintah (dalam arti memberikan perintah yang wajib diikuti), pemecah masalah, pelaksana dan penanggung jawab utama dan pertama, serta lebih khusus lagi: harus jadi pemenang.

Berlangsung di Indonesia

Demikianlah cara-cara penyelesaian daratan dalam menangani berbagai persoalan mutakhir kita: terorisme, demonstrasi, kepala daerah yang membangkang, bahkan juga pembangunan ekonomi. Hal itu membuat kita terjebak dalam siklus konflik dan kekerasan tanpa putus. Pemerintah selalu berhadapan secara diametral dengan pihak lain, bahkan rakyatnya sendiri, yang diposisikan sebagai lawan yang harus ditundukkan.

Kasus Papua, misalnya, sudah hampir setengah abad kita tidak berhasil mendapatkan penyelesaian yang komprehensif karena menggunakan pendekatan daratan. Korban berjatuhan dan persoalan justru semakin luas dan kompleks.

Padahal, dalam adab dan kultur maritim, penyelesaian masalah Papua bahkan juga tidak dapat diselesaikan dengan dengan sekadar pendekatan kesejahteraan karena masalahnya bukan di sana.

Berapa pun banyaknya fasilitas dan uang digelontorkan, masalah Papua tidak akan usai. Sesungguhnya rakyat Papua mempermasalahkan soal kultural yang membutuhkan pemahaman komprehensif multidisiplin. Ini berawal dari kekecewaan saudara Papua kita yang melihat penanganan masalah mereka selama ini oleh pemerintah justru semakin menihilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keberadaan mereka sebagai (suku) bangsa, warga sebuah negara.

Seperti suku-suku bangsa lain di Nusantara Maritim, orang Papua akan marah jika disuapi fasilitas tetapi dihina diri dan adatnya. Namun, sebagaimana juga pola pergaulan maritim, orang yang datang sebagai tamu akan mereka perlakukan dengan hormat dan sejajar. Itu pula yang mereka harapkan: diperlakukan sejajar seperti suku-suku Nusantara lainnya.

Maka, hanya dalam kesejajaran itu penyelesaian komprehensif dapat ditemukan. Secara simbolik, hal ini bisa dilakukan oleh seorang pemimpin (menteri, lebih bagus lagi presiden atau wakilnya) dengan datang ke Papua untuk berkunjung, menjadi tamu seorang kepala suku, tanpa representasi ratusan personel Paspampres dan senjata otomatis yang mengerikan. Itulah jalan kultural adab maritim.

Inilah jati diri kita sesungguhnya yang memiliki keunggulan akulturasi dinamik, yang pada akhirnya mengekalkan Indonesia sebagai bangsa maupun negara. Sesungguhnya, di dalam identifikasi eksistensial dan kultural itu, kita akan menemukan kenyataan yang mungkin tak terduga: demokrasi yang sesungguhnya karena lahir dan tumbuh di negeri yang penuh �rayuan pulau kelapa� ini.