Jumat, 27 Juli 2012

Puasa dan Kepedulian Sosial

Ahmad Syafii Maarif

Salah satu aspek terpenting ajaran Islam yang sering ditelantarkan sepanjang sejarah oleh umatnya adalah kepedulian sosial terhadap mereka yang kurang beruntung. Padahal, ini adalah bagian dari prinsip keadilan, yang merupakan sisi lain dari mata uang yang sama dari doktrin monoteisme (tauhid).

Puasa Ramadhan selama satu bulan, yang datang sekali dalam setahun, dalam perspektif ini adalah lonceng peringatan keras bagi orang beriman agar masalah keadilan jangan sekali-kali dilecehkan. Fenomena seorang Muslim menjadi penganut Marxisme dapat ditelusuri penyebab utamanya, yakni karena penguasa dan elite masyarakatnya telah mengabaikan dimensi kepedulian sosial yang demikian tajam diperintahkan Al Quran, khususnya surat-surat yang diwahyukan pada periode Mekkah (610-622).

Pada periode ini, Al Quran tidak hanya berbicara masalah iman dan tauhid, sebagaimana masih diajarkan di madrasah dan pesantren. Akan tetapi, Al Quran sudah langsung membidik sistem oligarki Quraisy dengan piramida kekuasaannya yang eksploitatif terhadap masyarakat mayoritas yang terpinggirkan.

Kekuasaan dan Keadilan

Karena pada periode Mekkah itu posisi politik Nabi Muhammad SAW masih sangat lemah, bidikan terhadap segala bentuk ketidakadilan itu masih berupa ajaran verbal yang belum mungkin dieksekusi. Baru pada periode Madinah (622-632), saat kekuasaan telah berada di tangan Nabi Muhammad, ajaran tentang keadilan itu ditegakkan dan dilaksanakan secara berani dan konsekuen. Sebab, beriman kepada Allah yang Tunggal tanpa diikuti tegaknya keadilan dan mekarnya kepedulian sosial dalam bingkai kemanusiaan, yang juga tunggal, tidak ada artinya bagi perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Sewaktu orang Quraisy ditanya tentang siapa yang menciptakan alam semesta, jawaban mereka adalah Allah!

Dalam ungkapan yang lebih lengkap, ikuti ayat Al Quran ini: �Dan jika engkau bertanya kepada mereka [orang Quraisy]: �Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan memudahkan [perjalanan] matahari dan bulan?� Niscaya mereka menjawab: �Allah�. Maka mengapa mereka bisa dipalingkan [dari kebenaran]. Surat ini, menurut sebagian besar pendapat para ahli tafsir, diturunkan pada periode Mekkah. Masih ada beberapa ayat Makkiyah (turun pada periode Mekkah) lainnya yang mengandung substansi serupa.

Penduduk Mekkah, terutama golongan elite, berdasarkan testimoni Al Quran ternyata percaya bahwa pencipta alam semesta adalah Allah. Namun, kepercayaan itu sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah keadilan dan kepedulian kaum berpunya terhadap penduduk miskin dan terkapar.

Dalam ungkapan Al Quran, sikap peduli terhadap kaum telantar yang berselimutkan debu disebut sebagai al-�aqabah (jalan mendaki dan sulit). Kita ikuti: �Tetapi dia tidak menempuh al-�aqabah itu. Tahukah engkau apa itu al-�aqabah? [Yaitu] membebaskan hamba sahaya [dari perbudakan]. Atau memberi makan pada hari kelaparan. [Kepada] anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau orang miskin yang terkapar di atas debu.�

Munculnya sifat orang kaya yang kedekut (sangat kikir) ini karena mereka percaya bahwa harta bendanya itu akan membuat dia kekal. Harta adalah segala-galanya bagi mereka kaum kaya itu. Perhatikan lukisan Al Quran ini: �Kerakusanmu kepada harta benda teramat sangat.�

Ayat-ayat Makkiyah adalah ibarat ledakan gunung berapi untuk menghancurkan pilar-pilar oligarki yang berlaku sewenang-wenang dan pongah atas mayoritas penduduk Mekkah yang tak berdaya. Padahal, mereka tak berdaya karena korban dari sistem yang tidak menghargai martabat manusia biasa.

Revolusi Arab dan Pemicunya

Revolusi yang meledak di negeri-negeri Arab-Muslim, sejak tahun lalu, adalah karena kerakusan penguasa terhadap kekuasaan dan harta yang melampaui batas di atas penderitaan rakyatnya yang didera ketidakadilan dan kemiskinan. Bahkan, tidak jarang melalui fatwa para ulama resmi dan dukungan Barat. Maka, berlakulah perselingkuhan antara kekuasaan dan fatwa agama. Alangkah kejinya, alangkah biadabnya!

Umumnya para penguasa ini tentu berpuasa di bulan Ramadhan dan mungkin telah menunaikan ibadah haji berkali-kali. Tetapi puasa ya puasa, haji ya haji: tidak ada kaitannya dengan upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan dan menggalakkan kepedulian sosial. Maka, tidaklah mengherankan jika kesenjangan sosial-ekonomi di sana termasuk yang tertinggi hampir di seluruh dunia Islam.

Indonesia, bangsa Muslim terbesar ini, setali tiga uang dengan negeri-negeri Muslim Arab yang kini masih dalam suasana revolusi dan sedang gagap dalam memetakan masa depannya. Jika Nabi Muhammad SAW berkuasa semata-mata untuk mengibarkan panji-panji tauhid yang terkait rapat secara organik dengan tegaknya keadilan dan keperdulian sosial sebagai salah satu hikmah puasa, maka sebagian besar penguasa Muslim berbuat sebaliknya. Mereka memang mengaku percaya kepada nabi akhir zaman ini, tetapi hampir sepanjang sejarah telah melecehkan semua nilai luhur itu. Dan, pemicunya tak lain karena kerakusan terhadap harta dan kekuasaan yang sudah berada di luar kendali iman dan moral.

Akhirnya, perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi seluruh umat beriman tertuang dalam Al Quran: �Wahai segenap orang yang beriman! Diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu, dengan harapan kamu akan meraih posisi takwa.�

Takwa di sini tak dapat diterjemahkan hanya sebagai takut kepada Allah. Ia bermakna adanya kesadaran mendalam dan tulus dalam hati orang yang berpuasa bahwa Allah senantiasa mengawasi tingkah lakunya dari jarak yang tanpa batas.

Pemihakan pada keadilan dan kepedulian sosial adalah buah langsung dari perilaku takwa itu di samping nilai-nilai spiritual lainnya. Semestinya elite Muslim di negeri Pancasila ini mau melakukan introspeksi secara tajam dan berani terhadap fenomena kekuasaan yang tecermin dalam ungkapan pertanyaan berikut. Bukankah kekuasaan politik pasca-proklamasi sebagian besar tergenggam di tangan para haji yang juga berpuasa, tetapi mengapa tonggak-tonggak keadilan dan kepedulian sosial masih saja dibiarkan goyah dan kurang terurus?

Siapa tahu, puasa tahun 1433 Hijriah ini akan mampu membangunkan kesadaran yang mendalam dan tulus itu, demi perbaikan moral bangsa Indonesia yang masih berada di bawah bayang-bayang awan kelabu. Semoga Allah belum bosan membimbing bangsa ini ke arah jalan yang lurus dan benar. Selamat berpuasa!

Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sabtu, 21 Juli 2012

Kemerdekaan dan Ketercerahan

Mochtar Pabottingi

Sepanjang kita bicara pada ranah politik, kemerdekaan tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan memandang cakrawala. Suatu bangsa tak akan pernah merdeka tanpa ketercerahan itu. Jika kesaksian historis Sartono Kartodirdjo, Denys Lombard, dan Anthony Reid bisa dijadikan pegangan, sudah sejak ratusan tahun silam bangsa kita sudah memiliki potensi besar dalam hal ketercerahan demikian.

Pada abad ke-17, prinsip Mare liberium! adalah semboyan Sultan Hasanuddin yang membuatnya berperang melawan ofensif monopolistik VOC yang didukung oleh tiga atau empat kerajaan sekutu Belanda di Nusantara bagian timur. Di sekitar masa itu pula orang Bugis-Makassar sudah mengenal konsep �manusia merdeka� dan masyarakat Melayu di Nusantara sudah menganut prinsip �raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.�

Pada abad ke-18 konsep masyarakat �inland states� di Jawa tentang waktu, manusia, dan paham ontologis sudah berubah menjadi modern, antara lain lantaran interaksi positif dengan masyarakat pesisir Nusantara. Dari situlah Serat Wedhatama muncul. Pada 1912, bangkitlah secara fenomenal pergerakan nasional pertama, Sarekat Islam, di bumi Nusantara. Pada pertengahan 1913, Ki Hadjar Dewantara menulis parodi cemerlangnya yang langsung menohok fondasi kolonialisme Hindia Belanda. Puncak bukti ketercerahan dalam hal cakrawala politik itu tentu saja adalah Pancasila, dasar negara dan falsafah bangsa kita.

Disusupi Kuasa Kegelapan

Sudah aksiomatis bahwa selalu terjadi pertandingan antara kekuatan-kekuatan cahaya dan kegelapan. Praktis sejak dasawarsa pertama hingga dasawarsa keenam, Tanah Air kita didominasi oleh para leluhur dengan ideologi-ideologi politik kompetitif tercerahkan yang memandang lepas ke seantero cakrawala. Semua ideologi itu bersifat memerdekakan. Dari kawah ideologi-ideologi itulah para pendiri bangsa kita lahir dan bertumbuh. Dan, dari kombinasi pergerakan yang didasari oleh ideologi-ideologi itu pulalah mereka mengantar bangsa ini ke gerbang kemerdekaan.

Lalu, lewat rangkaian panjang blunder dan kepandiran politik yang bermula pada duumvirate 1959, kekuatan-kekuatan kegelapan menyusup dan kembali menguasai Tanah Air. Maka, sejak 1965 hingga sekarang, terjadilah avalans pengkhianatan besar-besaran atas ideal-ideal nasion kita yang cenderung menggadaikan kemerdekaan, Tanah Air, serta kedaulatan bangsa. Itu silih berganti dilakukan di bawah kepicikan serta dorongan-dorongan hawa nafsu picik-nista kekuasaan yang dipelopori para pemimpin negara kita sendiri dengan dalih pembangunan. Suatu dalih yang hampir sepenuhnya didikte oleh dan ditundukkan pada kepentingan negara-negara adidaya kapitalis.

Di dalam kegelapan inilah kita terus terpenjara selama lima dasawarsa, sampai sekarang. Jika dulu pelopor kegelapan ada di pucuk-pucuk lembaga eksekutif, kepeloporan laku nista-khianat politik itu sejak 14 tahun terakhir berada pada lembaga legislatif, dengan kompleksitas nyaris penuh dari eksekutif dan yudikatif.

Bisakah bangsa kita kembali keluar dari sungkup kuasa kegelapan ini? Jawaban realistisnya: �Sulit sekali, tetapi tidak mustahil.� Mengapa sulit? Mengapa tidak mustahil?
Sejak 1998, kekuatan-kekuatan cahaya pada bangsa kita telah menghadapi uphill battles dalam dua medan laga besar: di dalam negeri dan di mancanegara.

Era upaya reformasi dimulai dengan pengkhianatan telak pada rasionalitas upaya reformasi itu sendiri, yaitu dengan diangkatnya orang kedua Orde Baru sebagai kepala pemerintahan pertama. Langkah itu bisa disebut biang irasionalitas politik. Sebab dengan pengangkatan demikian de facto dimaafkanlah semua laku pengkhianatan besar-besaran Orde Baru atas bangsa kita. Suatu rangkaian laku khianat berupa kejahatan masif atas kemanusiaan dan rangkaian mega- korupsi serta penyelewengan telanjang atas ideal-ideal kebangsaan kita.

Dengan naiknya orang kedua Orde Baru secara bertentangan dengan nalar reformasi, prinsip impunitas pun dipancangkan sangat kukuh dalam sistem pemerintahan kita justru di saat prinsip punitas semestinya ditegakkan secara ekstra tegas terhadap semua pelanggaran dan pengkhianatan Orde Baru. Di atas prinsip impunitas itulah bahtera negara kita tiada hentinya digerogoti dan dikeroposkan hingga sekarang. Pada hari-hari ini pun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap terus bersikukuh menganut prinsip impunitas itu dengan dalih polesan �menolak intervensi atas proses hukum� kendati itu berada langsung di bawah wewenangnya. Padahal, semua tahu bahwa tak ada negara yang tak akan terus kacau dan terseok-seok lantaran pembiaran impunitas sistemik dalam tubuhnya.

Pengkhianat Demokrasi

Kini bangsa-bangsa, katakanlah di seluruh dunia, berkiprah dan berpusar dalam paradigma dan ideal-ideal demokrasi. Namun, situasinya sangat berbeda antara peluang demokrasi baru pada 1940-an hingga 1960-an. Sepanjang masa itu, negara-negara kampiun demokrasi terasa masih terus memancarkan sinarnya ke seluruh dunia. Kala itu demokrasi-demokrasi baru, seperti Indonesia, punya deretan mercusuar tempatnya terbantu melihat arah dan cakrawala.

Akan tetapi, sejak awal 1990-an, justru tak lama setelah Uni Soviet dan Tembok Berlin runtuh�serta terbitnya buku pongah Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man�kekuatan kegelapan kembali menunjukkan taringnya dan bergerak serempak menggerogoti negara-negara kampiun demokrasi dari dalam.

Di Amerika, misalnya, kuku-kuku kapitalisme korporat dan/atau apa yang disebut Chalmers Johnson the military-industrial complex secara tak terbendung mulai mengintervensi mekanisme dan proses-proses inti dalam sistem kenegaraan demi memarjinalkan para pembayar pajak serta menjarah dunia. Gugatan Marx seperti tak pernah mati. Secara sangat kasar kekuatan-kekuatan kegelapan di Amerika telah mengkhianati prinsip-prinsip bapak pendiri bangsanya sendiri dalam The Declaration of Independence.

Di Amerika, pada hari-hari ini, makin santer gema suara-suara yang mengingatkan masyarakat betapa parahnya �the rich-poor divide�, betapa merajalelanya �the one percent supremacist� dalam penentuan kebijakan-kebijakan negara di ketiga cabang pemerintahan, dan betapa gencarnya �the criminalization of transparency, dissents, and whistleblowers�. Itu semua bermuara pada kenyataan telah tergadainya demokrasi kepada penawar tertinggi: �Democracy is sold to the highest bidder�.

Tersebab untuk membendung laju pengkhianatan besar-besaran terhadap demokrasi di negara kampiun demokrasi itulah gerakan �Occupy Wall Street�, yang terilhami oleh moda perlawanan kaum muda Mesir di Lapangan Tahrir, dimulai tahun lalu. Suatu gerakan yang kini tampaknya terus meluas.

Dua Jawaban

Atas dasar kuasa berjangkauan global dari barisan kapitalisme korporat, maka dalam waktu sekejap seluruh gejala pengkhianatan atas mekanisme dan prinsip-prinsip demokrasi bisa dan tampaknya memang juga sudah diekspor dan berlaku di dalam sistem pemerintahan kita. Kita, misalnya, sungguh patut terus mempertanyakan dan jika perlu membuktikan secara terbuka sejauh mana kebijakan dan perundangan minyak dan gas bumi kita telah didikte oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia.

Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan negara-nasion kita beserta ideal-ideal demokrasi yang memang tak terpisahkan darinya? Jawabannya adalah dua butir singkat, tetapi mahasulit:

Pertama, marilah kita kembali memadukan kemerdekaan dan ketercerahan menyimak cakrawala. Peningkatan kegelapan mestilah diimbangi dengan peningkatan ketercerahan. Kita harus cerdas membaca perkembangan dunia serta kiprah kekuatan-kekuatan penentu di dalamnya. Ada sejumlah bahaya baru terhadap nasion dan demokrasi seperti apa yang disebut �super PAC� serta proliferasi penggunaan drone yang sungguh perlu diwaspadai.

Kedua, marilah kita kembali berjuang dengan tekad, ketulusan, dan ketegaran prima untuk memenangi kedua uphill battles di atas agar kita bisa membawa negara kita kembali ke rel yang benar menurut tuntunan cakrawala ideal-idealnya. Keabsahan hukum harus kembali ditegakkan dengan mengakhiri impunitas sistemik. Dan, kekang harus dipasang sekencang mungkin pada jaring-jaring kerja kapitalisme korporat yang pada umumnya sama sekali tak peduli kepada nasib rakyat atau mayoritas warga negara.

Perjuangan ke depan makin menuntut kehadiran fisik serta ketercerahan cakrawala. Dan, perjalanan ribuan kilometer memang selalu dimulai dengan beranjak dari hasta ke hasta.

Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI

Rabu, 18 Juli 2012

Ramadhan: Tobat �Nasuha�

Azyumardi Azra

Setiap kali Ramadhan datang, ketika itu pula �kehebohan� yang nyaris rutin melanda Tanah Air. Kehebohan itu, misalnya, terkait dengan masih terjadinya perbedaan penetapan awal puasa antara Muhammadiyah dan NU.

Tidak kurang pula hebohnya adalah peningkatan harga berbagai kebutuhan sehari-hari, juga menjelang Idul Fitri nanti karena peningkatan konsumsi yang pada gilirannya memicu inflasi. Selain itu, pemerintah juga heboh dengan perbaikan infrastruktur yang sudah menjadi �ritual� tahunan, seperti jalan raya pantura Jawa.

Pada sisi lain, semangat dan gairah keagamaan juga terlihat tidak pernah surut. Untuk melihat gejala ini, orang hanya perlu pergi ke Bandara Soekarno-Hatta misalnya, di mana sepanjang tahun�khususnya di musim liburan sekolah lalu serta menjelang dan selama Ramadhan�bisa menyaksikan gelombang rombongan jemaah umrah yang tak pernah putus. Jika gejala ini mengindikasikan peningkatan ghirah keagamaan, juga sekaligus pertanda meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat sehingga dapat membiayai perjalanan keagamaan yang tidak murah.

Kesenjangan Mencolok

Gejala peningkatan keagamaan yang terus meningkat itu jika dikaitkan dengan realitas lain dalam masyarakat Indonesia pada berbagai bidang kehidupan, dengan segera terlihat adanya kesenjangan mencolok. Di satu pihak ada ghirah keagamaan yang terus meningkat, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk perbuatan keji dan mungkar terus mewabah di mana-mana. Dan, ini membawa orang pada pandangan bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan ghirah keagamaan dan kehidupan sosial lebih luas.

Kesenjangan paling jelas adalah masih berlanjutnya, jika tidak dapat dikatakan meningkat, perbuatan melanggar ketentuan agama dan hukum negara, seperti korupsi. Tindakan risywah (baca: suap) masih terus merajalela pada berbagai lini kehidupan sejak dari tingkat atas sampai tingkat bawah; sejak dari pejabat publik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sampai kepada pejabat kelurahan dan desa. Hampir tak ada urusan yang tidak melibatkan korupsi, semacam uang sogok dan pelicin: sejak dari urusan KTP, IMB, urusan mendapatkan proyek-proyek pemerintah, sampai untuk pengangkatan ke dalam posisi tertentu dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga publik.

Banyak pemangku kekuasaan di lembaga-lembaga pemerintahan dan publik, yang notabene adalah orang-orang beragama, kelihatan sama sekali tidak memelihara amanah dan memegang integritas. Sebaliknya, posisi otoritas yang mereka pegang memicu keleluasaan untuk melakukan tindakan �aji mumpung� demi keuntungan pribadi, kelompok, dan juga partai politik. Akibatnya, kerusakan terjadi tidak hanya pada tingkat pribadi, tetapi juga lingkungan institusi pemerintah dan publik, partai politik dan masyarakat lebih luas. Korupsi tidak lain mengakibatkan distorsi dan kekacauan luar biasa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan penataan kehidupan publik.

Tanpa harus diteliti secara cermat, kebanyakan pelaku korupsi�baik yang masih tersangka maupun yang sudah dijatuhi hukuman�adalah orang-orang yang jika dilihat dari namanya saja sudah memperlihatkan nama yang agamis. Terlihat keluarga mereka adalah juga keluarga agamis. Namun, nama agamis dan berisi doa untuk menjadi orang beriman dan bertakwa ternyata juga tidak menjadi halangan melakukan korupsi serta berbagai bentuk pelanggaran ajaran agama dan ketentuan hukum negara. Jika dari sudut pribadi saja tidak ada halangan untuk korupsi, praktis tak ada lagi halangan yang tidak bisa mereka atasi, termasuk ajaran agama dan ketentuan hukum negara yang bisa dimanipulasi.

Tidak jarang pula para pelaku korupsi ini mencoba melakukan sin laundering, mencuci dosa, misalnya dengan naik haji atau pergi umrah; mengirim anak-anak ke sekolah Islam, madrasah, atau pesantren; memberikan sumbangan, infak, dan sedekah ke masjid atau lembaga pendidikan Islam; dan lebih telanjang lagi dengan memakai jilbab atau bahkan cadar ketika diusut KPK atau kejaksaan dan di pengadilan. Publik secara tiba-tiba dihadapkan dengan kesan, para pelaku yang berjilbab dan bercadar itu adalah orang-orang yang menjalankan perintah agama dan karena itu �tidak mungkin korupsi�.

Akan tetapi, jelas, dosa karena korupsi dan perbuatan keji dan mungkar lain yang mereka lakukan tidak bisa dicuci dengan cara-cara seperti itu. Dosa sebesar biji sawi sekalipun tetap tercacat; tidak bisa terhapuskan. Dalam Islam, ada ajaran la talbisu al-haqqa bi al-bathil�jangan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan dan kemungkaran. Perbuatan baik, seperti naik haji dan pergi umrah atau memberikan infak dan sedekah tidak secara serta-merta dapat menghapuskan tindakan batil dan mungkar, seperti korupsi.

Sebenar-benar Tobat

Jika para pelaku korupsi dan tindakan batil dan mungkar lainnya ingin memperbaiki kehidupannya, tidak ada jalan lain kecuali dengan bertobat sebenar-benar tobat. Tobat seperti ini dalam istilah Islam disebut taubatan nashuha. Allah SWT berfirman: �Hai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha.�

Tobat secara bahasa berarti �kembali�. Tegasnya, kembali kepada kebenaran yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Tobat dengan demikian, pertama-tama, mengharuskan penyesalan atas perbuatan batil dan mungkar yang telah dilakukan. Kemudian, diikuti dengan kesungguhan untuk kembali ke jalan yang benar dan pada saat yang sama berjanji kepada diri sendiri dan Allah SWT untuk tidak mengulangi jalan yang sesat dan koruptif.

Tobat seorang pelaku tindakan keji dan mungkar menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah dapat dilakukan langsung dengan memohon ampun kepada-Nya. Allah SWT Maha Pengampun dan mencintai mereka yang menyesali perbuatan keji dan mungkar yang dia lakukan, serta bertobat dengan sebenar-benar tobat.

Akan tetapi, tobat dari tindakan yang merugikan orang lain, masyarakat, dan bangsa tidak bisa terselesaikan dengan hanya melakukan tobat kepada Allah. Sebaliknya, tobat tersebut bisa sah hanya dengan menyelesaikan urusan dengan semua pihak terkait. Jika pelaku tersebut melakukan korupsi, ia wajib mengembalikan uang dan harta hasil korupsinya kepada asalnya�aset publik dan negara. Dengan kata lain, jika sekadar tobat tanpa mengembalikan uang dan harta hasil jarahan aset publik, tobatnya adalah sia-sia belaka.

Bulan Ramadhan membukakan pintu sangat lebar untuk taubatan nashuha yang dapat memperbaiki kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa, dan negara. Dan, bulan suci ini juga memberikan peluang sangat besar untuk penguatan integritas diri; menjadi orang-orang yang takwa, yakni terpelihara dari perbuatan yang keji dan mungkar serta berbagai bentuk perbuatan koruptif lain.

Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos

Senin, 16 Juli 2012

Virtualitas Kita

Radhar Panca Dahana

Sepuluh tahun lalu, Arief Budiman, ahli sosiologi politik lulusan Harvard itu, menulis pengantar buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2002. Ia membuat sinyalemen bahwa karya-karya dalam kumpulan itu memiliki kecenderungan untuk lebih kerap memasuki wilayah supranatural dan juga mistik.

Kecenderungan itu ia baca sebagai bagian dari ketakberdayaan para pengarang�pekerja budaya yang terbiasa dengan dunia imajiner�menghadapi realitas aktual yang ternyata jauh lebih �imajinatif� ketimbang fiksi dan fantasi sang pengarang. Sepuluh tahun kemudian, ketika saya dipercaya membuat pengantar yang sama bagi edisi KCK 2012, saya menemukan bukti sahih sinyalemen Arief Budiman di atas.

Tsunami Data

Mengenai sebab, pertama, kita bisa mengafirmasi kenyataan hidup mutakhir ditandai oleh kian luas dan pekatnya kompleksitas hidup. Bukan saja akibat bertambahnya jumlah, intensitas, dan kualitas persoalan, juga terbukanya ruang pemahaman dan kesadaran kita akan apa saja yang terjadi di muka bumi ini.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti melesakkan�dengan kekuatan dan kapasitas tsunami�data peristiwa itu, termasuk data intelijen dan rahasia lainnya, ke dalam alam sadar kita yang secara tradisional terbiasa dengan jumlah input data yang lebih kecil. Terjadi apa yang disebut �bencana data� yang menciptakan semacam �gegar data�, di mana kapasitas tradisional memori dan proses penyerapannya tak mampu menampung. Akhirnya terjadi semacam kekacauan dalam proses pemahaman, penyimpulan, hingga ekspresinya.

Bagi anak muda di bawah usia 20 tahunan, tsunami data ini direspons dengan membuat cara baru dalam mengabsorpsinya. Mereka melakukan pemindaian (scanning) yang mengakibatkan data tak lagi teramati, terpahami, dan terpergunakan secara akurat dan adekuat. Bagi generasi sebelumnya, yang masih dalam tradisi manual-tradisional, terjadi seleksi otomatis. Akibatnya, sebagian besar data itu tidak berhasil diangkat ke atas-sadar dan terbuang ke dalam lembah gelap bawah-sadar.

Pada saat yang bersamaan, sebab kedua muncul dengan dahsyatnya, juga dengan menggunakan kendaraan globalisasi yang dilengkapi perangkat dahsyat teknologi informasi dan komunikasi. Dalam satu kata, hal kedua ini bisa kita sebut sebagai virtual world atau dunia virtual, dengan jenderalnya yang bernama internet. Sebuah dunia yang berkembang menjadi realitas alternatif. Di sana berdiam orang dewasa, dan terutama anak muda dan remaja, dalam sebuah kenyamanan hidup (fiksional) yang tidak mereka temukan dalam hidup aktualnya sehari-hari.

Dalam virtualitas ini, kita bisa menciptakan klaim dengan kebebasan tak terperi. Kita bisa menyatakan diri, beraktualisasi, mengkreasi apa pun, bahkan menyisihkan siapa pun yang menghalangi. Kita menciptakan kebenaran kita sendiri, dunia kita sendiri, dengan kebebasan (artifisial) yang terberi. �Terberi� yang dimaksud adalah legitimasi yang diberikan oleh sistem (demokrasi dan kapitalisme) yang kita pilih dan terapkan.

Hal yang menarik dan sangat berbahaya adalah ketika kenyamanan realitas yang virtual itu kemudian dianggap sebagai �realitas sesungguhnya�. Lalu, sebagian dari mereka memindahkan �realitas sesungguhnya� itu ke dalam realitas aktual. Dan, menggunakannya sebagai acuan bahkan panduan bagi ia dalam menegaskan eksistensi, beraktualisasi dan mengonstitusi hidup nyata serta bagi orang lain.

Maka, saksikanlah komunitas cosplay, harajuku, star trek, little monster (fans Lady Gaga), kaum punk baru di banyak perempatan jalan, dan seterusnya. Mereka sudah tak lagi mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengaktualisasi dunia pragmatis- praktis di sekitarnya. Jadilah mereka�masyarakat atau bangsa itu�sebuah adab baru yang virtual, fantasional, dan ilusional.

Menunggangi Teknologi

Dua sebab itu saja�di samping beberapa sebab lain yang dapat dideretkan�sudah jadi pangkal dahsyat untuk menciptakan realitas baru kita, sebagaimana yang antara lain terepresentasikan oleh para pengarang di KCK 2012.

Pada diri pengarang, seperti dinyatakan banyak kalangan, ada semacam tugas kenabian�yang bersilang tumpuk dengan tugas keshamanan�untuk mencari makna, signifikansi, dan hikmah dari pergulatan abadi manusia dalam dikotomi realitas tersebut. Jika kemudian para pengarang sudah �lari� dengan ekor terlipat ke wilayah unreal atau hyper-real, jelas ia menjadi indikasi telah terjadi keletihan luar biasa, bahkan frustrasi, ketakutan luar biasa bahkan kepengecutan, dalam menghadapi �realitas sesungguhnya�. Sebagian bahkan menganggap�secara filosofis dan ontologis, katanya�justru yang terakhir itu sebenarnya yang tiada. Apalagi agama menyiapkan apologi purbanya: bahwa kenyataan nyata itu sesungguhnya fana dan yang sejati ada dalam baka.

Baik, kita tidak membicarakan agama, yang dalam hal ini sebenarnya lebih diposisikan secara apologetik, bukan dalam posisi teologis apalagi spiritualnya. Yang kita pantas cemaskan kini adalah bagaimana bangsa kita, dalam tiap elemen dan tingkatannya, merespons atau menyikapi semua kondisi di atas demi kepentingan ke depan. Ketika anak cucu kita saat ini termangu dalam hidup yang penuh tipu.

Tak terelak kita mesti berbagi dan bersinergi�dengan segala kearifan dan kecerdasan yang kita miliki�untuk menerima, memahami, dan menggunakan adab global itu demi peningkatan harkat kebudayaan, kemanusiaan kita. Mungkin dapat dimulai dengan secara dewasa dan taktis menghentikan penggunaan dunia virtual atau gadget-gadget yang hanya menjerumuskan kita menjadi korban. Menyiasati bagaimana teknologi dan globalisasi dapat kita tunggangi, bukan sebaliknya. Menjadi master, bukan hambanya.

Mari kita berhenti memainkan spekulasi-spekulasi dalam kepala kita, menciptakan opini yang menyesatkan, dan memproduksi ilusi dalam cara kita bereksistensi hingga bernegara. Jangan gosip dipilin menjadi opini, bahkan berbuah kebenaran yang sebenarnya palsu. Termasuk berbagai kasus korupsi yang ditangani (KPK) belakangan ini, dipenuhi opini publik yang dibentuk berdasar bukan data tetapi ilusi. Sebutlah seperti sebuah stasiun TV yang berani menyatakan 70 persen publik (dalam poll yang diselenggarakannya) �terlibat dalam korupsi�, sebelum satu pun data terbukti atau tervalidasi.

Bencana sebenarnya akan terjadi bukan ketika negara menjadi gagal, tetapi ketika kita gagal mengidentifikasi realitas aktual dan faktual kita sesungguhnya. Di titik itu, bukan lagi negara, tetapi kebudayaan yang gagal. Negara boleh gagal berkali-kali, tetapi sekali kebudayaan gagal, bangsa pun binasa. Dan, riwayatnya hapus, menyisa artefak lapuk di sejarah dunia.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Minggu, 15 Juli 2012

Menimbang Calon Presiden

Salahuddin Wahid

Menarik menyimak langkah Partai Golkar yang sigap dan sudah mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014, dua tahun sebelum pilpres itu sendiri berlangsung.

Pada 2004, Wiranto dan Salahuddin Wahid mendeklarasikan diri tak sampai dua bulan sebelum pilpres berlangsung. Deklarasi Jusuf Kalla dan Wiranto (2009) juga demikian. Hal lain yang membedakan, deklarasi saat ini hanya menampilkan capres, sedangkan deklarasi 2004 dan 2009 sudah menampilkan dua nama: capres dan cawapres. Cawapres Partai Golkar 2014 akan dipilih dari sejumlah nama, yaitu Sultan Hamengku Buwono X, Jenderal Pramono Edhie, Ibas, Mahfud MD, Khofifah. Deklarasi saat ini juga lebih semarak dibandingkan 2004 dan 2009.

Tentu wajar kalau timbul pertanyaan mengapa deklarasi capres Partai Golkar itu harus dilakukan tergesa-gesa, seperti ada sesuatu yang dikejar, padahal pilpres masih dua tahun lagi. Apa sesuatu yang dikejar itu? Jawaban yang masuk akal ialah memberi waktu yang amat panjang bagi sang capres untuk memperkenalkan diri ke seluruh pelosok Indonesia. Jawaban yang tersembunyi (mungkin): supaya posisi capres kokoh dan tidak mungkin diganti tokoh lain.

Belajar dari Pilpres AS

Pemilihan presiden secara langsung di Indonesia baru pada 2004 dan 2009. Keduanya tak banyak memberi informasi dan pelajaran. Pilpres di AS yang sudah diadakan puluhan kali adalah sumber informasi dan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Tak ada salahnya belajar dan mengacu pada pilpres AS, tetapi tentu diperlukan kejelian, ketelitian, dan kecerdasan dalam mengambil pelajaran.

Salah satu yang sudah kita tiru ialah membuat survei untuk mengetahui kecenderungan pilihan masyarakat. Pada 2004, penggunaan survei yang mengacu kepada metode Gallup itu belum sebanyak sekarang. Ada dugaan (semoga tidak benar) bahwa survei yang dilakukan di sini telah dicemari oleh intervensi yang dikhawatirkan akan merusak kredibilitas survei yang diselenggarakan secara benar dan betul-betul tidak memihak.

Hal lain yang juga sudah ditiru ialah penggunaan berbagai atribut serta iklan dan juga kegiatan yang diharapkan dapat mendongkrak popularitas dan tingkat keterpilihan sang calon, seperti debat calon.

Namun, kita lupa mempelajari bagaimana mengumpulkan dana dari masyarakat untuk mendukung calon yang betul-betul baik tetapi tak punya cukup uang untuk membiayai kampanye. Selain itu, bagaimana mendidik dan membiasakan pemilih untuk tak memilih calon berdasarkan pemberian uang kepada pemilih.

Tokoh atau Partai?

Dalam sejarah Indonesia, pemimpinlah yang lebih menonjol daripada partai, kecuali pada era demokrasi liberal. Pada era itu, yang menonjol adalah ketua dan tokoh partai, seperti Ali Sastroamidjojo, Muhammad Natsir, dan Burhanuddin Harahap. Tanpa partai, tokoh-tokoh itu tidak punya pengaruh besar. Pak Harto bukan ketua partai tetapi menguasai Golkar. Gus Dur lebih besar daripada PKB. PDI Perjuangan tanpa Megawati akan mengalami kemerosotan. Jelas bahwa Partai Demokrat jadi partai yang terbanyak pemilihnya karena nama besar Susilo Bambang Yudhoyono. Prabowo Subianto juga lebih besar daripada Partai Gerindra dan Wiranto lebih besar daripada Hanura.

Partai politik di Indonesia saat ini yang betul-betul mengandalkan nama besar dan organisasi partai ialah Partai Golkar dan PKS. Secara kebetulan atau secara otomatis (?), selama ini kedua partai itu tidak punya tokoh yang layak jual untuk pemilihan presiden. Menyadari kenyataan itu�atau karena ingin mewujudkan proses pemilihan capres yang mampu menghasilkan calon yang memenuhi syarat dan memperoleh dukungan rakyat�Akbar Tandjung menyelenggarakan konvensi untuk memilih capres Partai Golkar pada 2004. Dalam putaran kedua, Wiranto mengalahkan Akbar Tandjung sehingga terpilih sebagai capres Partai Golkar.

Konvensi itu tak sama dengan konvensi capres yang diadakan di AS. Konvensi capres di AS bersifat terbuka dan melibatkan masyarakat, sedangkan konvensi Partai Golkar bersifat tertutup, hanya melibatkan pengurus partai. Kita tentu masih ingat ucapan Cak Nur yang mengikuti konvensi tersebut bahwa konvensi Partai Golkar itu lebih mengutamakan �gizi� (uang) daripada visi dan misi.

Pada 2009, Partai Golkar tidak menyelenggarakan konvensi. Jusuf Kalla masih berharap jadi pasangan SBY yang diyakini oleh banyak pihak akan terpilih lagi. Karena SBY cenderung tidak memilih JK sebagai pasangan, maka JK maju sebagai capres. Saat itu juga ada pihak di dalam Partai Golkar yang mengusulkan konvensi. Namun tidak tersedia cukup waktu untuk menyelenggarakan konvensi, setelah kuat isyarat dari SBY bahwa JK tidak akan dipilih menjadi cawapres.

Peluang Aburizal

Partai Golkar adalah partai yang paling banyak pengalaman dibandingkan partai lain. Tradisi dan budaya organisasinya cukup kuat. Setelah berhasil mengatasi situasi kritis di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung pasca-Orde Baru tumbang, Partai Golkar secara perlahan mengokohkan diri sebagai salah satu partai terkuat.

Adapun yang dibutuhkan Golkar ialah ketua umum yang punya uang sangat banyak, jaringan luas, dan motivasi kuat. Kita masih ingat, pada Munas Partai Golkar 2010 terjadi pertarungan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie (Ical). Sebagai ketua umum Golkar, wajar kalau Ical ingin menjadi capres dari partainya. Malah tidak wajar kalau Ical tidak punya ambisi itu. Sejak terpilih jadi Ketua Umum Partai Golkar, Ical melakukan kunjungan ke sejumlah daerah untuk bisa bertemu dengan sebanyak mungkin warga masyarakat.

Gambarnya terpampang di seluruh pelosok Indonesia. Semua survei memberi harapan bahwa Golkar akan mengungguli partai- partai lain. Satu-dua survei memberi hasil bahwa tingkat keterpilihan Ical juga membaik sehingga Rapimnas Partai Gokar tak ragu mendeklarasikan Ical sebagai capres. Terlihat jelas bahwa banyak pihak di luar dan di dalam Golkar merasa belum sreg dengan deklarasi itu. Akan lebih baik apabila deklarasi itu dilakukan pada 2013.

Kalau berhasil memperoleh cawapres yang bisa mendongkrak perolehan suara, walaupun amat sulit, bukan tak mungkin Ical bisa menang. Sungguh ini prestasi luar biasa bagi tim yang menyusun strategi pemenangan dan juga tim yang mengeksekusi strategi tersebut. Kondisi yang memberi keuntungan kepada Ical ialah bahwa tak adanya tokoh potensial di dalam dua partai yang diduga bisa mengajukan capres, sedangkan tokoh-tokoh yang potensial, seperti Prabowo, JK, Mahfud MD, dan Dahlan Iskan, belum tentu akan ada partai yang mencalonkan.

Kondisi yang ideal ialah kalau sejumlah partai menengah mau bekerja sama untuk mencari tokoh yang layak jual dan punya kemampuan dan karakter kuat, lalu dicalonkan bersama oleh partai-partai tersebut. Namun, kita tahu bahwa menggalang kerja sama itu sungguh tidak mudah. Diperlukan kelompok di luar partai yang mengambil prakarsa dan mendorong kerja sama partai menengah itu.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang

Selasa, 10 Juli 2012

Kontradiksi Indonesia

Azyumardi Azra

Orang-orang asing yang datang di Indonesia, untuk pertama atau kesekian kali, agaknya sulit percaya bahwa negeri ini termasuk dalam bahaya terjerumus menjadi negara gagal. Alasannya cukup banyak. Sejak masih berada di bandara mana pun di Tanah Air yang termasuk bandara internasional, mereka bisa menyaksikan kehidupan ekonomi-sosial yang bergairah.

Di bandara tersua jubelan manusia, khususnya di musim libur dan akhir pekan panjang, untuk menggunakan transportasi udara yang tidak lagi murah. Selanjutnya, begitu keluar dari bandara, memasuki jalan akses ke dalam kota, mereka segera terjebak dalam kemacetan atau kepadatan lalu lintas dengan mobil-mobil mengilap dan kerumunan motor.

Jubelan kendaraan yang kian memadati jalan di hampir seluruh kota Tanah Air mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia terus bertumbuh. Hal ini menjadi indikasi yang didaku rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai prestasi utama pemerintahannya.

Pendakuan itu mendapat pengakuan belaka dari banyak kalangan mancanegara antara lain dengan mengikutsertakan Indonesia dalam G-20, barisan negara-negara berekonomi besar.

Degradasi Pelayanan Publik

Akan tetapi, pada saat yang sama kenyataan itu secara kontradiktif menjadi pertanda kegagalan pemerintah pusat dan daerah mengembangkan infrastruktur jalan raya yang memadai guna mengimbangi peningkatan kemampuan warga memiliki kendaraan bermotor. Ia sekaligus mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah menyediakan transportasi publik yang memadai, aman, dan nyaman. Bahkan, terlihat jelas adanya degradasi pelayanan publik dalam bidang ini.

Degradasi pelayanan publik adalah satu dari 12 indikator yang dipakai lembaga Fund for Peace yang bisa membuat terjerumusnya Indonesia�berada di peringkat ke-63 dari 178�ke tubir negara gagal. Segera jelas bahwa kemerosotan pelayanan publik di Tanah Air tidak hanya menyangkut transportasi publik, tetapi juga bisa ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan lain, termasuk di kantor- kantor pemerintah. Kontradiktif dan ironis, banyak pegawai pemerintah masih lebih merupakan representasi kekuasaan daripada pelayan publik.

Terkait dengan degradasi pelayanan publik�tetapi termasuk ke dalam indikator bidang sosial�adalah ketidakmampuan aparat keamanan dan penegak hukum mencegah aksi kekerasan di antara satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain. Secara telanjang, publik menyaksikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam aksi balas-membalas kekerasan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa.

Mereka yang secara eufemistik disebut media sebagai �ormas� terlibat kekerasan dalam perebutan kekuasaan atas lahan parkir, tempat hiburan semacam diskotek, lapak pedagang kaki lima, lokasi pembangunan gedung, dan seterusnya.

Kekerasan juga terus berlanjut sewaktu-waktu dalam tawuran antarkelompok mahasiswa, antarkampung, antarsuku seperti terjadi di Papua, atau antarfaksi eks GAM di Aceh. Juga masih terjadi kekerasan kelompok tertentu atas nama agama terhadap kelompok lain, baik intraagama maupun antaragama berbeda.

Kekerasan sering menghasilkan mereka yang dalam kategori PBB termasuk ke dalam the displaced, orang-orang yang terusir dari kediaman dan kampung halaman mereka, seperti warga Ahmadiyah di NTB dan beberapa tempat lain di Tanah Air.

Meski aksi kekerasan akhirnya bisa dipadamkan oleh aparat kepolisian, apakah melalui tindakan represif atau persuasif lewat kesepakatan perdamaian tidak terdapat tanda meyakinkan bahwa bakal tidak ada lagi kejadian-kejadian seperti itu. Sebaliknya, potensi kekerasan antarkelompok warga itu menjadi laten, yang tersimpan di bawah permukaan, tetapi siap meledak sewaktu-waktu.

Potensi laten kekerasan antarkelompok massa berganda dengan kian meluasnya kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Meski lebih dari separuh penduduk Indonesia kini disebut termasuk kelas menengah, jelas kemiskinan dan pengangguran tetap merajalela di banyak tempat Indonesia. Kaum miskin yang jumlahnya berkisar seperempat sampai sepertiga dari total penduduk Indonesia yang 240 juta jiwa sangat laten memunculkan ledakan kekerasan.

Delegitimasi Politik

Kita sering dengan bangga menyatakan Indonesia dalam masa pasca-Soeharto adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Bahkan, di tengah gejolak Musim Semi Arab yang sangat sulit menuju demokrasi, Indonesia juga menjadi negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, di mana demokrasi tidak ada masalah dengan Islam.

Akan tetapi, kontradiktif dan ironis, kebanyakan elite politik, baik legislatif maupun eksekutif, mulai dari tingkat nasional, provinsi, sampai kota/kabupaten terus mengalami delegitimasi politik. Kian banyak warga kehilangan kepercayaan kepada elite politik dan pejabat publik yang tidak menjaga kepercayaan warga karena melakukan berbagai bentuk pelanggaran hukum dan moral, seperti korupsi yang terus saja mewabah mulai dari tingkat pusat sampai daerah.

Delegitimasi politik yang dapat menjerumuskan Indonesia menjadi negara gagal juga bertumpuk dengan kontradiksi lainnya, yaitu ketidaksesuaian antara pernyataan para elite politik yang sekaligus pejabat publik serta tindakan dan perilaku mereka.

Para elite politik tidak memberikan contoh yang baik kepada publik tentang akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas yang sangat mutlak tidak hanya untuk membangun kohesi sosial-politik, sekaligus guna membentuk negara yang kokoh secara hukum dan moral.

Proses delegitimasi politik tampaknya bakal terus berlanjut karena pada saat yang sama faksionalisasi di antara para elite dan kubu politik berbeda masih belum memperlihatkan tanda-tanda berakhir. Faksionalisasi dan kontestasi politik terus berlanjut karena konflik kepentingan.

�Koalisi� politik yang ada tidak lebih daripada sekadar �kebersamaan� sangat rapuh yang segera merosot dalam momen tertentu terkait isu politik dan ekonomi semacam rencana pembancuhan kabinet atau naik-tidak-naiknya harga BBM.

Kontradiksi Indonesia terus pula berlanjut selama kepemimpinan dan elite politik tidak melakukan upaya serius untuk mengatasinya. Di sini diperlukan kepemimpinan visioner, kreatif, berani, dan berintegritas: tidak hanya sibuk dengan rutinitas dan pencitraan.

Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm

Selasa, 03 Juli 2012

Kemenangan Kebudayaan

Radhar Panca Dahana

Barangkali tak perlu lagi membuat perhitungan, baik sebelum maupun sesudah kemenangan sensasional dan spektakuler Spanyol serta rekor luar biasa yang ditorehkannya.

Baik hitungan di atas kertas, statistik, mental, maupun kematangan. Di atas itu semua, akhir dari ajang kompetisi sepak bola terbesar antarbangsa Eropa ini menghasilkan kemenangan keindahan, art of football, seni sebagai inti dari kebudayaan.

Sebagai sesama negeri Latin dari kawasan Mediterania, Spanyol dan Italia, sebagaimana negeri-negeri Latin di Amerika Selatan, memiliki pemain-pemain dengan kemampuan individual tinggi sehingga mereka tidak berlari dengan bola, tetapi menari bersamanya. Kita saksikan�terutama�Spanyol seperti menciptakan puisi pada setiap pemain dan menciptakan prosa dalam roman yang tidak hanya best-seller, tetapi juga bersejarah dan berkaliber Nobel.

Kembali ke Khitah

Tentu saja, kemenangan kebudayaan ini bukan hanya bermakna artistik, sebagaimana Latin tidak hanya dipenuhi dengan karya sastra dan intelektual. Ini adalah kemenangan atas mainstream di dua-tiga dekade terakhir yang dikuasai kecepatan dan tenaga, speed and power.

Sepak bola didominasi oleh fisik, pola, dan skema yang sangat sistemik, bahkan mekanik. Sebuah arus yang diperlihatkan dengan cara luar biasa oleh beberapa negara Eropa Utara, seperti Jerman, Belanda, Kroasia, dan Denmark.

Bisa jadi, inilah kemenangan peradaban Selatan, yang umumnya ditandai dengan konservativisme, tradisionalisme, kekeluargaan, juga kemaritiman. Sebut misalnya China, Jepang, dan Amerika. Peradaban yang dalam banyak gradasi berbeda dengan Utara yang relatif lebih rasional-mekanis, progresif, teknologis, dan individualistis.

Dengan latar kultural semacam itu, sepak bola dunia seperti kembali ke khitah sebagai seni menggocek dan menyerang. Karena itulah, orang-orang Selatan yang rata-rata lebih pendek ketimbang Utara dapat memamerkan kapasitas secara optimal. Tim Spanyol mungkin dapat dianggap tim �terpendek� di Eropa, termasuk salah satu pahlawannya, bek sayap Jordi Alba.

Ini sangat disadari oleh Xavi Hernandez, sang jenderal dan maestro passing terbaik dunia (165 cm), yang merasa sangat beruntung dengan perubahan arus utama. Hal yang diamini oleh Andres Iniesta, Cesc Fabregas, David Silva, dan tentu Alba, yang memiliki tinggi rata-rata sama. Ini pula yang mencuatkan Lionel Messi sebagai keajaiban baru dalam sepak bola modern.

Filosofi Del Bosque

Semua tentu saja tak lepas dari peran luar biasa salah satu pelatih timnas tersukses dan terbaik dunia, Vicente del Bosque. Pelatih kalem, rendah hati, analis tajam, dan dijunjung tinggi ini adalah pelatih Pep Guardiola, pelatih klub paling fenomenal.

Para pengamat dan penggila bola sempat meragukan dirinya ketika ia memainkan pola yang belum pernah digunakan tim mana pun sepanjang sejarah sepak bola, 4-6-0. Ia menumpuk enam pemain tengah dan menafikan kehadiran pencetak gol betapapun ia memiliki stok berkaliber dunia, seperti Fernando Torres, Llorente, Negredo, dan Almeida.

Dalam penglihatan saya, Del Bosque bukan hanya bereksperimen. Ia memang menawarkan konsep dan filosofi baru dalam persepakbolaan dunia. Tumpukan gelandang di tengah tidak hanya menghilangkan perebutan peran, tetapi juga justru menjadi inti dari konsep tiki-taka yang akan segera ditiru di seluruh dunia setelah total football atau catenaccio, misalnya.

Inti itu datang dari potensi pemain tengah Spanyol yang seluruhnya berkapasitas sebagai target-man atau pencetak gol. Maka, pola baru Del Bosque ini memberi Spanyol bukan hanya enam pemain tengah paling luar biasa, melainkan juga enam striker dahsyat. Dari delapan gol yang diciptakan Spanyol hingga final, semua dilesakkan oleh lima pemain tengah dengan rata-rata 1,6. Hanya sebuah gol yang dihasilkan oleh striker (Torres). Bandingkan dengan Italia yang juga dipuji barisan tengahnya, hanya tiga gelandang mencetak gol, berarti rata-rata 1.

Bahkan, di final, pemain belakang, bek kiri suksesor Carlos Puyol, Jordi Alba, pun mampu menciptakan gol dengan kapabilitas dan ketenangan seorang striker, persis dengan apa yang ditunjukkan Torres. Kita pun melihat, bagaimana para pemain belakang lain, Pique, Ramos dan Arbeloa, begitu kerap berada di daerah pertahanan musuh, bahkan di kotak 16.

Saya mengira, eksperimen�jika itu ada�yang sedang dilakukan oleh Del Bosque adalah bagaimana menciptakan tim 10 pemain dengan semua kapasitas: bertahan, gelandang, dan penyerang. Saya menyebutnya sebagai �pemain segala� (total player). Anda saksikan, bahkan ketika bola digenggam Gianluigi Buffon, 6-7 pemain Spanyol berjaga di sekitar kotak 16. Sebuah pola yang sungguh tinggi tingkat keberaniannya. Apa yang terjadi pada lawan dengan pola itu?

Ruang sebagai Peluang

Lawan pun menjadi grogi. Sekaligus merasa rendah diri. Mereka harus memompa semangat dua kali lebih dahsyat dari normal. Maknanya: tensi. Lawan sudah tegang sebelum peluit awal di bunyikan. Itu sebagian dari taktik psikologis Del Bosque yang genial. Ini terlihat pada awal final kemarin malam. Semua pemain Italia, dibantu kru, paduan suara, dan penonton, menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh penghayatan, seperti mengempos daya lebih mental mereka.

Sebaliknya, tidak satu pun pemain, pelatih, bahkan kru tim Spanyol yang ikut bernyanyi saat lagu kebangsaan mereka dinyanyikan. Mereka tidak membutuhkan emposan itu karena kekuatan batin (mental) mereka sudah lebih dari cukup. Sikap dan raut muka mereka menunjukkan kematangan luar biasa. Saya kira kemenangan Spanyol sudah terjadi di detik ini. Sebelum mental kalah muncul seusai gol kedua, terutama setelah keluarnya Thiago Motta.

Sejak Luis Aragones memimpin tim Spanyol merebut Piala Eropa 2008, filosofi sepak bola Spanyol mengentak dunia. �Bermain bola� adalah �memainkan peluang� dan peluang itu berarti �ruang�. �Peluang� itu bukanlah sesuatu yang datang atau tercipta, melainkan diciptakan dengan kejelian, kecepatan berpikir, dan keputusan.

Itu diungkap (lagi) oleh satu di antara dua pemain terbaik dunia (setelah Messi), Xavi. �Ruang. Di mana ruang, bola harus segera dialirkan ke arahnya�. Inilah dasar filosofi dan inilah representasi dari kebudayaan itu.

Bisa jadi sepak bola adalah ruang yang memberi siapa pun peluang merebut hati publik, bahkan dengan cara menggelikan dan memalukan. Sepak bola adalah magi dari keindahan kebudayaan, seni imajinatif di mana kita bisa sembunyi atau lari dari realitas faktual (Spanyol dan Italia adalah penderita utama resesi ekonomi Eropa saat ini).

Apakah ruang atau kesempatan itu pula yang dilihat oleh para politisi kita, pengusaha, baik yang senior maupun dadakan? Mereka seharusnya bisa melihat ruang untuk membawa bangsanya menuju kesejahteraan. Bukan diri sendiri.

Radhar Panca Dahana, Budayawan